Blog

[BAHASA] Irisan antara Kebijakan Cukai Rokok dan Pertanian Tembakau di Indonesia

Pada bulan Desember 2020, Menteri Keuangan Republik Indonesia mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok yang tidak terlalu signifikan yaitu dengan rerata sekitar 12,5 persen. Secara umum, pemangku kepentingan kesehatan publik memberi apresiasi atas kenaikan tarif cukai rokok ini. Namun, kenaikan tarif cukai rokok hanya akan berdampak pada harga rokok dan akhirnya konsumsi jika kenaikannya lebih tinggi dari yang telah diumumkan. Agar kenaikan tarif cukai rokok  lebih efektif, tidak hanya kenaikannya harus lebih tinggi, pemerintah Indonesia juga perlu mengupayakan penyederhanaan struktur cukai seperti yang pernah dituangkan dalam Peta Jalan Simplifikasi Cukai Rokok, yang saat ini telah dihilangkan. Struktur cukai rokok dengan tarif cukai rokok yang berjenjang antar produk rokok memberikan ruang kepada perokok untuk beralih ke produk rokok yang lebih murah. Respon perilaku terhadap kenaikan cukai rokok berpotensi mengurangi dampak dari kenaikan cukai rokok terhadap pengurangan konsumsi.

Menteri Keuangan Republik Indonesia dalam paparannya juga mengangkat poin mengenai upaya mencari keseimbangan antara pertanian tembakau dan kenaikan cukai. Secara umum, Menteri Keuangan telah dengan seksama menyampaikan bahwa sekitar 500.000 individu terlibat dalam kegiatan pertanian tembakau. Sayangnya, dua dinamika penting terkait pertanian tembakau tidak mengemuka. Pertama, riset terkini tentang pertanian tembakau menemukan bahwa, untuk sebagian besar dari petani tembakau, pendapatan dari tembakau berkontribusi kecil terhadap pendapatan rumah tangga. Untuk 80 persen petani tembakau, pendapatan dari pertanian tembakau hanya menyumbangkan kurang dari setengah total pendapatan rumah tangga. Kedua, riset terkini lainnya menunjukkan bahwa bertani tembakau berdampak negatif terhadap pendapatan petani. Dengan kata lain, petani dapat meningkatkan pendapatannya dengan beralih ke tanaman non-tembakau.

Pada akhir tahun 2020, tim peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Tim Tobacconomics dari University of Illinois at Chicago, Australian National University, American Cancer Society, dan McGill University menyampaikan laporan penelitian yang menjelaskan kompleksitas pertanian tembakau. Temuan utama studi tersebut antara lain:

  • Tahun 2018 adalah tahun yang relatif baik untuk petani tembakau secara hasil pertanian dan pendapatan. Namun, petani non-tembakau secara konsisten memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan petani tembakau.
  • Petani tembakau yang beralih ke tanaman non-tembakau memperoleh pendapatan yang lebih tinggi bahkan di musim tani pertama setelah beralih.
  • Biaya input pertanian per hektar untuk tembakau lebih tinggi dibandingkan biaya input pertanian per hektar untuk tanaman non-tembakau.
  • Biaya tenaga kerja untuk menanam tembakau cukup tinggi: secara rerata, pertanian tembakau membutuhkan dua kali lipat waktu tenaga kerja untuk pertanian non-tembakau. Oleh karena itu, biaya kesempatan ekonomi anggota rumah tangga pertanian tembakau cukup tinggi. Mereka kehilangan kesempatan untuk beraktivitas ekonomi lainnya yang memberikan imbal balik lebih tinggi untuk waktunya.
  • Sebagian besar petani memiliki penaksiran biaya yang jauh lebih rendah dari biaya menanam tembakau sesungguhnya. Di saat bersamaan, mereka menaksir pendapatan dari tembakau lebih tinggi dari yang sesungguhnya mereka terima.
  • Sebagian besar petani tembakau hidup di bawah garis kemiskinan nasional.
  • Banyak petani tembakau yang mempekerjakan anak dan banyak yang melaporkan gejala green tobacco sickness, yang merupakan bentuk keracunan nikotin secara akut.

 Hasil penelitian menjelaskan bahwa pertanian tembakau seharusnya TIDAK menjadi dasar pertimbangan kebijakan untuk kenaikan cukai rokok yang kecil. Implikasi kebijakan dari penelitian justru menjelaskan sebaliknya. Kenaikan cukai rokok yang mengurangi konsumsi dan permintaan terhadap tembakau justru dapat mendorong petani dari pertanian tembakau ke alternatif penghidupan lain yang lebih baik.

Pemerintah Indonesia—baik di tingkat nasional maupun di daerah—memiliki beberapa opsi alternatif kebijakan untuk mendorong petani ke alternatif penghidupan yang lebih baik:

  • mengidentifikasi tanaman non-tembakau yang sesuai dengan situasi tanah di masing-masing daerah.
  • menyediakan layanan penyuluhan pertanian untuk tanaman non-tembakau termasuk informasi prakiraan cuaca, komoditas tani yang diminati oleh pasar, dan harga komoditas tani di pasar.
  • menghubungkan petani dengan industri pengolahan hasil tani untuk kemitraan produksi dan pembelian hasil tani tanaman non-tembakau.
  • menyediakan insentif, baik keuangan maupun non-keuangan, serta skema kredit mikro untuk petani dan syarat dari perolehan skema tersebut adalah bertani tanaman non-tembakau.
  • membangun infrastruktur pertanian di daerah dengan lahan kering seperti waduk, embung, dan irigasi untuk meningkatkan insentif petani beralih ke tanaman non-tembakau.
  • mendorong petani untuk membentuk kelompok tani atau usaha tani rakyat untuk meningkatkan sumberdaya petani, modal kerja petani, dan daya tawar petani.

Read this blog in English here

The Report is available in English and Bahasa Indonesian here.

The Fact Sheet is available in English and Bahasa Indonesian here.